JAKARTA,INFORADAR.ID– Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait larangan salam lintas agama menuai pro kontra. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) akhirnya menanggapi fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tersebut.
Dalam keterangan resminya terdapat 5 sikap BPIP terhadap fatwa MUI terkait larangan salam lintas agama. Menurut BPIP Indonesia berdiri berdasarkan keutuhan Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Dalam keterangan resminya BPIP juga mengungkapkan kebhinekaan ini merupakan kekayaan yang harus dipelihara dan dijaga secara bersama. Toleransi antar umat beragam menjadi salah satu kunci untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Dengan adanya ijma MUI mengenai larangan salam lintas agama ini dapat merusak kemajemukan Indonesia.
BPIP juga menyebut bahwa Indonesia ini sangat beragam terdiri 714 etnis, keragaman agama dan kepercayaan.
‘’Kekuatan Indonesia juga tercermin dari semboyan Bhineka Tunggal Ika yang telah menjadi perisai dalam menjaga keutuhan hidup berbangsa dan bernegara sejak zaman nenek moyang kita sehingga toleransi, semangat pluralisme, dan kerukunan beragama telah hidup secara kultural menjadi bagian dari identitas bangsa Indonesia,’’ tulis BPIP dalam keterangan resminya, dikutip selasa (11/6).
BPIP menilai hasil ijtima dari MUI ini dapat menyebabkan terjadinya ekslusivitas dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
‘’Eksistensi ini telah berlangsung ratusan tahun hidup berdampingan secara damai, sekaligus menjadi kearifan bangsa, sehingga negara tidak boleh tunduk kepada hasil ijtima yang menyebabkan terjadinya ekslusivitas dalam kehidupan bernegara dan berbangsa,’’ tambah BPIP
BPIP mengatakan seharusnya MUI yang tercatat sebagai organisasi masyarakat keagamaan, sudah seharusnya tunduk dan taat pada Pancasila dan UU Organisasi Kemasyarakatan.
‘’Regulasi tersebut mengatur bahwa setiap ormas berkewajiban untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan NKRI,’’ lanjut BPIP.
BPIP merilis 5 sikap atas fatwa MUI mengenai larangan salam lintas agama dan selamat hari raya keagamaan sebagai berikut:
1. Secara teologis, terdapat perbedaan antara agama dan pemikiran agama, agama dan penafsiran agama. Hasil ijtima adalah pemikiran agama yang memiliki tafsir yang majemuk bukan mutlak sehingga tidak memiliki kebenaran yang tunggal dan absolut. Hasil ijtima harus dibentuk atas perspektif yang luas, termasuk mempertimbangkan dokumen dan kesepakatan internasional seperti The Amman Message, 9 November 2004; Marrakesh Declaration, 25-27 Januari 2016, tentang Hak-hak Minoritas Beragama di Dunia Islam; Abu Dhabi Declaration, 4 Februari 2019, tentang Persaudaraan Umat Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Kehidupan Bersama (Declaration on Human Fraternity for World Peace and Living Togerher); juga kesimpulan seminar internasional, Universitas Al-Azhar, Kairo, 27-28 Januari 2020; serta harus diuji secara publik.
BACA JUGA:Hadiri Rapat Kerja dan RDP, Komisi II DPR RI Apresiasi dan Dorong Perkuat Kelembagaan BPIP
Pancasila sebagai ijtihad yang sudah disepakati oleh semua pihak (sehingga menjadi ijma/konsensus tertinggi, terlengkap, dan paling mengikat/binding) memiliki derajat keislaman yang telah diuji dan dibuktikan secara substantif. Pancasila tidak dihegemoni oleh ajaran agama tertentu, namun Pancasila merepresentasi substansi dari ajaran agama. Dalam negara Pancasila, ajaran Islam yang bersifat “Ubuddiyyah” dipegang teguh secara pribadi dan menjadi spirit dan inspirasi dalam mengaktualisasi moralitas diri menjadi manusia yang berkualitas dalam ber-“Mu’amalah”, baik bermuamalah secara sosial maupun berkenegaraan. Agama menjadi inspirasi batin dalam merepresentasikan nilai kemanusiaan dan persatuan yang tinggi, sehingga semakin beragama seseorang, semakin ia akan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.
2. Secara sosiologis, hasil ijtima tentang pelarangan ucapan salam lintas agama dan selamat hari raya keagamaan mengancam eksistensi Pancasila dan keutuhan hidup berbangsa yang sejak dahulu kala telah terkristalisasi menjadi sebuah kearifan lokal. Tradisi ini telah menjadi bagian yang diwariskan sejak ratusan tahun oleh nenek moyang kita. Keutuhan bangsa yang telah hidup ratusan tahun ini tidak boleh direduksi oleh kelompok keagamaan tertentu yang berpotensi mempolarisasi, mendisharmonisasi, dan mendisintegrasi keutuhan berbangsa.