INFORADAR.ID - Gerakan 30 September 1965, atau yang lebih dikenal sebagai G30S PKI, merupakan salah satu peristiwa paling krusial dalam sejarah modern Indonesia.
Peristiwa ini tidak hanya mengubah lanskap politik negara, tetapi juga meninggalkan jejak mendalam pada kehidupan sosial dan budaya masyarakat Indonesia hingga hari ini.
Pada malam 30 September menjelang dini hari 1 Oktober 1965, sekelompok perwira militer yang menamakan diri Gerakan 30 September menculik dan membunuh enam jenderal tinggi Angkatan Darat dan seorang perwira pertama.
Mayat para korban ditemukan di sebuah sumur tua di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur. Peristiwa ini menjadi titik balik dalam sejarah politik Indonesia (Roosa, 2006).
Gerakan ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung Syamsuri, yang mengklaim bahwa aksi tersebut dilakukan untuk menggagalkan rencana kudeta oleh apa yang disebut sebagai
"Dewan Jenderal" terhadap Presiden Soekarno. Namun, klaim ini kemudian dibantah oleh berbagai pihak dan menjadi subjek perdebatan di kalangan sejarawan (Cribb, 1990).
Mayor Jenderal Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kostrad, dengan cepat mengambil alih komando Angkatan Darat dan berhasil menumpas gerakan ini dalam waktu singkat.
Soeharto kemudian menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang di balik peristiwa tersebut, meskipun hubungan antara PKI dan Gerakan 30 September masih diperdebatkan hingga saat ini (Vickers, 2005).
BACA JUGA:Pecat 43 Pegawai, Erick Thohir Tegaskan Komitmen Reformasi Total PSSI
BACA JUGA:Ide Usaha Camilan yang Cocok untuk Mahasiswa dan Ibu Rumah Tangga, Yuk Coba Buat Keripik Sosis
Tuduhan terhadap PKI ini menjadi pemicu terjadinya pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI di berbagai daerah di Indonesia.
Diperkirakan ratusan ribu hingga jutaan orang menjadi korban dalam tragedi kemanusiaan ini. Banyak orang yang dianggap berafiliasi dengan PKI juga mengalami penahanan, pengasingan, dan diskriminasi selama bertahun-tahun (Kammen & McGregor, 2012).
Peristiwa G30S PKI menandai berakhirnya era Demokrasi Terpimpin Soekarno dan dimulainya era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Perubahan politik ini membawa dampak besar pada berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia selama lebih dari tiga dekade berikutnya.
Orde Baru menerapkan kebijakan "de-Soekarnoisasi" dan "de-PKI-isasi" yang mempengaruhi narasi sejarah dan kehidupan sosial-politik Indonesia (Ricklefs, 2001).