INFORADAR.ID - Isra Mi'raj bukan hanya tentang perjalanan spiritual, tetapi juga menantang logika kita dalam memahami ruang dan waktu. Dalam narasi yang terjadi dalam semalam, Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan dari Mekah ke Yerusalem, kemudian naik ke langit dan kembali lagi.
Jika dilihat dari sudut pandang sains, perjalanan ini tampaknya mustahil menurut hukum fisika konvensional. Namun, mari kita coba telaah peristiwa ini dengan menggabungkan konsep-konsep ilmiah modern seperti relativitas, kecepatan cahaya, dan konsep multiverse.
Perjalanan dari Mekah ke Yerusalem, dalam sekejap mata, mungkin dapat dianalogikan dengan fenomena "teleportasi" atau "wormhole" dalam sains. Einstein dalam teori relativitasnya mengajukan bahwa perjalanan cepat melalui ruang-waktu bisa terjadi jika ada ‘jalan pintas’ melalui struktur ruang-waktu, yang disebut wormhole.
Dalam hal ini, kendaraan bernama Buraq, yang digambarkan sangat cepat, mungkin bisa dianggap sebagai medium yang mampu menembus ruang-waktu dengan cara yang tidak kita pahami saat ini.
Setelah sampai di Yerusalem, peristiwa ini berlanjut dengan perjalanan ke langit. Konsep naik ke langit ini bisa kita coba lihat dari perspektif multiverse atau dimensi lain yang tak kasat mata.
BACA JUGA:Jangan Sampai Punya Karakter Seperti Bocah Kematian, Ini Ciri-Cirinya!
BACA JUGA:Untuk Kamu yang Sulit Melupakan Mantan, 5 Puisi Ini Cocok Kamu Dengarkan
Dalam teori fisika modern, ada konsep bahwa alam semesta ini tidak hanya satu, melainkan ada banyak dimensi yang eksis secara bersamaan. Jadi, "langit" yang digambarkan dalam Isra Mi'raj mungkin sebenarnya bukan langit fisik yang kita lihat di siang hari, melainkan dimensi lain yang berada di luar persepsi manusia biasa.
Nabi Muhammad SAW kemudian bertemu dengan para nabi sebelumnya di berbagai lapisan langit. Ini juga bisa dipahami melalui konsep waktu yang non-linear. Dalam fisika, waktu sebenarnya bukan sesuatu yang mutlak. Pada tingkat kuantum, waktu bisa bergerak lebih lambat atau lebih cepat, tergantung pada gravitasi dan kecepatan gerakan.
Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW mungkin memasuki realitas di mana waktu tidak berfungsi seperti di dunia kita, memungkinkan beliau bertemu dengan tokoh-tokoh dari masa lampau dalam sekejap.
Ketika Nabi Muhammad SAW mencapai Sidratul Muntaha, sebuah batas akhir dari semua makhluk, ini mungkin menggambarkan batas pengetahuan dan eksistensi yang bisa dijangkau oleh makhluk hidup.
Dalam fisika, ada batas tertentu yang kita sebut dengan "singularitas," di mana hukum fisika yang kita kenal saat ini tidak lagi berlaku. Pada titik ini, Nabi Muhammad SAW harus melanjutkan perjalanan sendirian, mungkin karena Jibril sebagai malaikat juga terikat oleh batasan-batasan alam semesta fisik.
BACA JUGA:5 Pantai Spektakuler di Indonesia yang Mungkin Anda Belum Pernah Dengar
BACA JUGA:5 Ide Lomba Maulid Nabi 2024 untuk Anak dan Remaja
Perintah untuk shalat 50 kali sehari yang kemudian dikurangi menjadi 5 kali juga bisa dilihat sebagai konsep ‘kuantifikasi spiritual’. Dalam banyak teori fisika, angka-angka dan kuantifikasi memiliki peran penting.