Respon pemerintah terhadap penembakan ini, seperti biasa, adalah penyangkalan dan usaha menutupi fakta. Pemerintah lebih memilih untuk menyembunyikan kejahatan mereka, mencoba menghilangkan jejak-jejak yang tertinggal. Bagi masyarakat Papua, penindasan ini bukanlah hal baru.
Setiap penembakan, setiap nyawa yang hilang, adalah pengingat bahwa keadilan masih jauh dari jangkauan mereka, dan negara terus gagal memenuhi janji kemanusiaan yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara. Fakta bahwa kekejaman ini terus berulang adalah bukti bahwa negara belum siap menghargai nilai-nilai kemanusiaan di Papua.
5. Reformasi Dikorupsi
September 2019, gelombang protes besar-besaran yang dipimpin oleh mahasiswa meletus sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah yang dianggap sudah terlalu korup dan tidak lagi peduli pada hak asasi manusia.
Gerakan ini, yang dikenal sebagai Reformasi Dikorupsi, menuntut perubahan dan keadilan di tengah situasi yang semakin tidak terkendali. Namun, alih-alih mendengarkan suara rakyatnya, aparat keamanan justru merespon dengan kekerasan.
Human Rights Watch dengan jelas menggambarkan bahwa protes mahasiswa pada 2019 adalah salah satu perlawanan terbesar terhadap pemerintahan yang telah kehilangan kepercayaan rakyatnya.
Tragedi ini menambah luka baru dalam sejarah Indonesia yang sudah penuh dengan darah dan air mata. Kematian para demonstran muda ini menunjukkan betapa jauh negara telah menyimpang dari peran utamanya sebagai pelindung rakyat.
Negara, yang seharusnya menjadi pengayom, justru menjadi ancaman nyata bagi masa depan bangsa. Reformasi yang dulu diperjuangkan dengan begitu keras, kini justru dikorupsi oleh mereka yang diharapkan membawa perubahan. Kematian para mahasiswa ini menjadi simbol betapa rapuhnya harapan akan perubahan yang pernah menyala di hati rakyat Indonesia.
6. Kematian Randi dan Yusuf
Tragedi lain yang membuat darah mendidih adalah penembakan dua mahasiswa, Randi dan Yusuf, di Kendari, Sulawesi Tenggara, pada 26 September 2019. Mereka tewas saat ikut serta dalam demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang yang dianggap mengancam demokrasi dan kebebasan sipil.
Penembakan ini memperlihatkan betapa brutalnya aparat keamanan dalam menghadapi protes damai. Tempo dalam laporannya menulis dengan tegas, Kematian Randi dan Yusuf menggarisbawahi kegagalan sistem keamanan kita dalam melindungi hak-hak warganya sendiri.
Kematian mereka bukan hanya menambah daftar panjang pelanggaran HAM oleh negara, tetapi juga mencerminkan kegagalan sistemik dalam menegakkan keadilan. Sistem keamanan yang seharusnya melindungi, malah menjadi algojo yang menebar teror.
Dalam hal ini, negara bukan hanya gagal, tetapi juga telah mengkhianati amanah rakyat yang seharusnya mereka junjung tinggi. Tragedi ini adalah bukti betapa negara telah berubah menjadi musuh bagi mereka yang berani menyuarakan kebenaran.
BACA JUGA:Cara Cek Keaslian E-Meterai, Pelamar CPNS Harus Tahu Nih