INFORADAR.ID – Bubur Suro bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga mengandung pesan-pesan filosofis nilai-nilai keagamaan.
Bubur ini menjadi simbol kebersamaan dan keberkahan dalam menyambut awal tahun baru Islam yaitu 1 Muharram.
Setiap 1 Muharram, bubur suro menjadi makanan khas dalam memperingati awal tahun baru Hijriah ini karena berkaitan dengan bahwa bulan Muharram dianggap keramat.
Bulan Suro atau Muharram dianggap Keramat?
Dikutip dari Instagram @pandujatim, Bulan Suro atau Muharram dalam budaya Jawa dianggap bulan yang keramat seperti pantang mengadakan hajatan, pernikahanm dan membangun rumah karena dianggap pamali.
BACA JUGA:Unik, Warga Juhut Peringati Tahun Baru Islam di Makam
BACA JUGA:Cara Kerja Nabung di Bibit Agar Cuan Maksimal, Ini 4 Langkah untuk Sukses Investasi
Menurut KH Muhammad Solikin, penulis ‘Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar’, karena di bulan ini memiliki nilai kesakralan bagi masyarakat Islam Jawa yaitu bulan terbunuhnya cucu Nabi Muhammad SAW, yaitu Sayyidina Husein as.
Budayawan Ki Herman Sinung Janutama mengatakan adanya akulturasi Bahasa bahwa bubur sebenarnya berasal dari kata ‘gugur’ dan Suran/Suro berasal dari kata ‘Asyuro’.
Keduanya jika digabung berarti gugur di hari Asyuro. Tradisi turun temurun ini adalah cara masyarakat Jawa menghormati Sayyidina Husein, Cucu Nabi Muhammad SAW yang gugur di Karlaba.
“Tradisi bulan Suro di Kejawengan sangatlah keramat, pada malam 1 Muharram mereka menutup diri dari tetangga, berpuasa dan tidak tidur,” komentar akun @nayl_fathin.
BACA JUGA:Meriahkan Perayaan Hari Besar Tahun Baru Islam dengan Lomba-lomba ini Yuk
BACA JUGA:Cari Baju Ala Korean Sytle di Serang? 2 Toko Ini Menjadi Favorit Para Ciwi, Wajib Dikunjungi
Dilansir dari Instagram @ponpes_syarifuddin, Bubur suro memiliki sejarah dan filosofi yang penting bagi masyarakat, khususnya di beberapa kawasan pulau jawa.
Filosofi Isi Bubur Suro