INFORADAR.ID - Selama lebih dari tujuh bulan, Kota Rafah di Gaza bagian Selatan telah menjadi tempat perlindungan bagi lebih dari 1,5 juta warga Palestina.
Banyak dari mereka melarikan diri ke Rafah untuk menghindari serangan udara Israel di wilayah lain Gaza, yang telah menelan korban lebih dari 36.000 orang hingga saat ini.
Namun, situasinya berubah drastis ketika pasukan Israel mulai meningkatkan operasi militer di Rafah, bahkan dengan kekejaman membakar hidup-hidup pengungsi di tenda pada malam hari saat mereka bersiap tidur.
Pasukan Israel juga mengeluarkan perintah evakuasi dan memperketat kendali mereka atas penyeberangan Rafah juga menghalangi akses terhadap bantuan kemanusiaan.
BACA JUGA:Apa Arti ‘All Eyes On Rafah’ yang Viral di Media Sosial? Simak Penjelasannya di Sini
BACA JUGA:Alasan Reino Barack Nikahi Syahrini, Menikahinya Adalah Ijabah Doa Waktu Singkat
Melansir dari outbonders.org, Chris Lockyear, Sekretaris Jenderal MSF (Medecins Sans Frontieres), menggambarkan keadaan tersebut sebagai pembantaian terhadap warga sipil yang terpaksa berpindah ke daerah yang dianggap aman, namun ternyata hanya menjadi sasaran serangan udara tanpa henti. Keluarga-keluarga terpaksa berkumpul di tenda-tenda, hidup dalam kondisi yang sangat sulit.
"Warga sipil dibantai. Mereka didorong ke daerah-daerah yang meurut mereka aman, hanya akan menjadi sasaran serangan udara tanpa henti dan pertempuran sengit," tuturnya.
Dimana Rafah?
Rafah, yang terletak di perbatasan selatan Gaza dengan Mesir, kini menjadi pusat "jalur aman" akibat serangan-serangan Israel yang meningkat sejak Oktober 2023.
Namun, perbatasan Rafah ditutup sejak 7 Mei, memutus semua akses terhadap bantuan kemanusiaan, tanpa sumber makanan dan bahan bakar yang penting.
BACA JUGA:Berpindah Serangan ke Rafah, Netizen Ramai-Ramai Kecam Israel dengan Hastag ‘All Eyes on Rafah’
BACA JUGA:Drama Korea Pachinko Konfirmasi Tanggal Tayang Perdana untuk Season 2
Sejak saat itu, serangan udara Israel telah menewaskan 49 orang dan melukai 250 lainnya, termasuk serangan di lingkungan Tal Al-Sultan dan pemboman kamp tenda pengungsi di Al-Mawasi.
Aurelie Godard, pimpinan tim medis MSF di Gaza, menyoroti kebutuhan "segala sesuatu yang penting bagi kehidupan sehari-hari sudah tidak ada lagi, tidak ada bantuan kemanusiaan, tidak ada makanan, tidak ada bahan bakar".