INFORADAR,- Orang yang pandai matematika seringkali dianggap sebagai orang yang cerdas secara general dan mampu menyelesaikan berbagai masalah dengan mudah. Stigma seperti ini melekat amat erat dengan masyarakat Indonesia, terkhusus pada orang tua bahkan guru sebagai tenaga pengajar.
Mengapa demikian?
Pertama, banyak orang tua dan guru meyakini bahwa matematika adalah dasar dari semua ilmu pengetahuan. Matematika juga dianggap sebagai kunci untuk mencapai kesuksesan di masa depan, sehingga orang tua sangat concern dengan ilmu satu ini. Mereka mendorong anak-anak untuk fokus pada pelajaran matematika, bahkan rela ”menggugurkan” pelajaran lain.
Kedua, selain dahulunya matematika ternyata juga diutamakan dalam kurikulum sekolah di Indonesia, ada pula asumsi bahwa matematika adalah ilmu yang erat kaitannya dengan patriarki. Kita gak bisa menampik fakta bahwa budaya patriarki yang keras dan terkesan absolut memang sudah dari lama menguasai peradaban.
Pendeknya, matematika dianggap sebagai ilmu yang maskulin yang mewakili budaya patriarki, sekiranya menjadi penyebab insan terfokus pada matematika. Matematika sering dikaitkan dengan sifat-sifat yang dianggap maskulin, seperti rasional, objektif, dan logis, yang kemudian memunculkan pertanyaan,:
Kenapa matematika? Darimana asalnya semua ini?
Pengetahuan matematis tampil dengan sifatnya yang pasti dan bisa diaplikasikan pada dunia nyata. Selain itu, pengetahuan matematis juga diperoleh melalui pemikiran murni, tanpa perlu adanya observasi. Itulah mengapa, matematika dianggap mewakili suatu ideal.
Matematika menjadi penyebab pengetahuan empiris yang mana berdasar pada pengalaman dan juga observasi yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Mengutip dari buku History Of Western Philosophy, matematika memunculkan asumsi bahwa pikiran lebih utama daripada indera, intuisi lebih unggul ketimbang observasi. Bahwa apabila dunia inderawi tidak menunjukkan kesesuaian dengan matematika, maka yang perlu dievaluasi adalah dunia inderawi itu sendiri.
Sang filsuf, Phytagoras bahkan mengatakan (juga sudah banyak diketahui pada saat itu) bahwa “segala sesuatu adalah bilangan-bilangan."Karena memang pada saat itu matematika sangat erat relevansinya dengan sesuatu seperti musik yang terkenal dengan peristilahan dari matematika, lagi.
Seperti apa contohnya? Ialah nilai rata-rata harmoni dan progresi harmoni. Phytagoras juga berekspektasi aritmetika yang mana bagian dari keilmuan matematika adalah aspek fundamental untuk keilmuan semacam fisika hingga estetika.
Harapan tersebut muncul, karena ia berasumsi layaknya kaum atomis bahwa dunia dan tubuh ini terbentuk dari molekul yang terdiri dari banyaknya atom hingga tersusun dalam berbagai bentuk. Bertrand Russel dalam bukunya History Of Western Philoshophy ikut mengamini bahwa matematika yaitu penalaran dalam hierarki berada pada tingkatan yang lebih tinggi dari aspek inderawi.
“Geometri berurusan dengan lingkaran-lingkaran eksak, bagaimanapun cermatnya kita memakai jangka, kekurangsempurnaan dan ketidakteraturan akan tetap ada. Membuktikan pandangan bahwa semua penalaran eksak hanya berkenaan dengan objek-objek ideal yang berbeda dengan objek inderawi”
Doktrin mistik yang berelevansi antara waktu dengan keabadian pun mendapat dukungan dari matematika murni, karena objek-objek matematis seperti bilangan-bilangan apabila nyata sekalipun, sifatnya abadi dan tidak terikat oleh waktu.
Penulis : Bayu Mentari