Karena tekanan di bawah tanah terlalu tinggi, maka campuran air, lumpur dan gas tersebut naik ke permukaan tanah yang berdampak ke rumah dan pemukiman warga sekitar semburan.
Gas dari semburan lumpur itu dikabarkan mengandung hidrogen sulfida dan meracuni 2 penduduk sekitar semburan lumpur.
Lapindo Brantas, Inc melakukan usaha untuk menghentikan kebocoran dengan menambahkan lumpur berat ke sumur. Tetapi itu tidak cukup menahan semburan dari dalam yang malah menjalar ke celah samping.
Setelah usaha pertama ini tidak berhasil, LBI membangun sebuah tanggul untuk menghalau pelebaran lumpur, tetapi lagi-lagi tembok itu tidak dapat menahan volume lumpur yang semakin banyak.
Ketika itu lumpur sudah menenggelamkan 750 rumah dan menutup 2 jalur kereta api. Semburan dari dalam tanah mencapai 5000 meter kubik per hari, setara air di 2 kolam renang olimpiade
Tahun 2008 semburan lumpur makin naik menjadi 100.000 meter kubik per hari. Volume air ini setara dengan air di dalam 40 kolam renang olimpiade!
Tahun 2010, lumpur lumpur kembali meluas sampai Jalan raya Porong. Akibatnya, ruas jalan raya menjadi macet dan sulit untuk dilalui. Jangan tanyakan bagaimana keadaan rumah warga, itu sudah pasti tenggelam oleh lumpur.
LBI baru mampu memberikan ganti rugi sebesar 3,1 triliun Rupiah, setelahnya perusahaan itu tidak mampu menanganinya dan terlilit piutan dengan negara. Akhirnya, beban negara bertambah karena harus ikut membayar ganti rugi kepada korban.
Sampai pada tahun 2017, dana APBN untuk penanggulangan lumpur lapindo mencapai 11,27 triliun Rupiah, akan tetapi dana itu masih kurang dan membutuhkan 1,5 triliun lagi.
Pada 2020, anggaran untuk penanggulangan lumpur lapindo ini kembali dikucurkan sebanyak 380 miliar Rupiah.
Tragedi Lumpur Lapindo ini merupakan bencana metana terbesar di dunia, tapi sayangnya kegiatan Blok Brantas masih tetap berjalan.
Pada tahun 2018, Kementerian ESDM memperpanjang kontrak bagi hasil dengan Lapindo Brantas, Inc selama 20 tahun. Keputusan kontrak ini membuat LBI akan kembali melakukan eksplorasi migas tidak jauh dari titik semburan.
Bencana lumpur Lapindo tersebut menyebabkan kerugian yang besar, baik secara materiil maupun manusia. Banyak orang kehilangan tempat tinggal, tanah pertanian terdampak, infrastruktur hancur, dan lingkungan alam rusak. Selain itu, sejumlah korban jiwa dan luka-luka juga dilaporkan.
Namun, proses rehabilitasi dan pemulihan pasca bencana lumpur Lapindo masih berlangsung hingga saat ini. Banyak korban dan keluarga mereka masih berjuang untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan penuh.
Dari berita yang beredar bebas di internet, hampir 2 dekade ini korban Lumpur Lapindo masih harus merasakan dampaknya, mulai dari kesehatan fisik, mental, dan kondisi air sumur yang tidak bisa dikonsumsi karena tercemar.
Kasus ini juga telah menjadi sumber perdebatan dan kontroversi di Indonesia terkait tanggung jawab perusahaan, kompensasi yang diberikan, dan langkah-langkah yang diambil untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.