INFORADAR.ID - Kredit ke bank atau ke lembaga keuangan lainnya menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan hidup di tengah keterbatasan finansial. Seperti untuk membeli rumah, renovasi rumah, membeli kendaraan, membiayai pendidikan, modal usaha, dan kebutuhan lainnya.
Sebagaimana kita ketahui, setiap kredit ada tambahan nilai yang akan diperoleh kreditur. Sementara debitur memiliki kewajiban untuk menyanggupi sesuai dengan perjanjian.
Lalu bagaimana hukum tambahan nilai dari transaksi tersebut dalam hukum Islam? Apakah termasuk dalam kategori riba?
Mengenai definisi riba, Dewan Syariah Nasional MUI, Hidayatulloh sebagaimana dikutip dari laman MUI, riba secara bahasa artinya ziyadah (tambahan).
Hidayatulloh mengutip fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 1 tahun 2004, riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan (bila 'iwadh) yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran (ziyadah al-ajal) diperjanjian sebelumnya (ini yang disebut riba nasi'ah). Al-Qur'an melarang riba yang terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 275 dan 278-279, surat Ali Imran ayat 130, dan surat Ar Ruum ayat 39.
Dalil tersebut diperkuat beberapa hadits Nabi Muhammad SAW, salah satunya adalah riwayat Imam Muslim: Dari Jabir RA, dia berkata, “Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikannya.” Dia berkata: “Mereka berstatus hukum sama.”
Hidayatulloh menjelaskan, ada beberapa jenis riba menurut para ulama. Menurut Hanafi, Maliki, dan Hambali riba dibagi menjadi riba fadl dan nasi'ah. Syafi'iyyah membagi riba menjadi fadl, nasi'ah, yad, dan qardh.
Sedangkan Ibn Rusyd membagi menjadi riba jual beli (bai') dan riba karena utang.
Riba jual beli terdiri dari riba fadhl dan riba nasa’, sedangkan riba duyun terdiri dari nasi’ah dan jahiliyah.
Apakah kredit itu termasuk riba? Hidayatulloh menjelaskan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Dia mengatakan dalam praktik di bank konvensional, kredit adalah utang piutang yang disertai bunga. Jika persoalan riba sudah ditegaskan keharamannya, persoalan bunga bank adalah masalah kontemporer yang memerlukan ijtihad.
"Kita dapat merujuk kepada beberapa keputusan ulama internasional antara lain Majma’ul Buhuts al-Islamiyyah di Al-Azhar Mesir pada Mei 1965, Majma’ al-Fiqh al-Islamy negara-negara Organisasi Kerjasama Islam yang diselenggarakan di Jeddah 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22-28 Desember 1985 dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 yang menetapkan keharaman bunga bank," ungkapnya.
Menurut MUI, kata Hidayatulloh, praktik pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktik pembungaan uang termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.
Oleh sebab itu, praktik pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan bank, asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya maupun dilakukan individu.
Lalu apakah ada kredit yang diperbolehkan dalam ajaran Islam?