Begitu bertemu dengan saya, beliau mengatakan, "Mas Wid (panggilan untuk saya), terima kasih ya, sudah membantu Bapak menjadi gubernur," katanya sambil bersalaman erat dengan saya.
Demikian juga istrinya, Edyati Dwi Lestari, "Mas, terima kasih ya sudah bantu Bapak," katanya juga sambil mengulurkan tangan.
Sontak saja, saya kaget luar biasa. Apakah Pak Oe tidak salah alamat, guman saya dalam hati. Sejenak saya terbengong-bengong.
Kemudian kalau saya dikatakan membantu menjadi gubernur, membantu dalam hal apa? Saya ketika itu hanyalah seorang wartawan yang setiap hari menjelang pemilihan gubernur membuat berita tentang calon-calon gubernur. Tidak hanya Pak Oe. Tetapi juga rivalnya, Pak Nurdin Muhayat.
Yang tak kalah hebohnya adalah rekan-rekan wartawan dan para kepala dinas yang melihat langsung peristiwa itu.
"Kenapa Wid? Ada apa Wid?"
"Kok Pak Oe nyari-nyari kamu Wid?"
"Wuuuuiiih, Widodo cair nich."
Sesudah peristiwa itu, saya langsung ke kantor. Membuat berita terpilihnya Pak Oe jadi Gubernur Lampung.
Esok harinya, dan hari-hari berikutnya, muncul kabar heboh.
"Widodo dapat hadiah rumah bagus."
"Widodo dapat hadiah motor baru. Di jok-nya masih ada tulisannya."
"Widodo dapat uang banyak."
Kabar miring itu tidak pernah saya bantah. Tidak pernah saya klarifikasi. Kalau pun ada yang bertanya, tidak pernah saya jawab.