INFORADAR.ID - Di tengah ketegangan dunia pada pertengahan abad ke-20, Indonesia mendapati dirinya terjebak dalam perseteruan dua raksasa: Amerika Serikat dan Uni Soviet. Perang Dingin, yang tidak melibatkan pertempuran langsung antara kedua negara adidaya tersebut, menciptakan berbagai konflik di seluruh dunia. Salah satu korban dari konflik ini adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), yang terperangkap dalam rivalitas ideologis yang akhirnya menghancurkannya.
PKI berkembang pesat di bawah pemerintahan Presiden Soekarno, yang saat itu menerapkan kebijakan NASAKOM sebuah upaya untuk menggabungkan nasionalisme, agama, dan komunisme. Namun, seperti yang dijelaskan oleh Vincent Bevins dalam bukunya The Jakarta Method, kekuatan PKI yang semakin besar membuat Barat, terutama Amerika Serikat, waspada. Washington khawatir bahwa Indonesia, dengan penduduknya yang besar dan letaknya yang strategis di Asia Tenggara, akan jatuh ke tangan komunisme, yang dapat memperkuat posisi Uni Soviet di wilayah tersebut.
Ketegangan ini mencapai puncaknya pada tahun 1965, ketika terjadi peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Sejumlah jenderal TNI dibunuh dalam sebuah kudeta yang gagal, dan PKI dituduh sebagai dalangnya. Dalam bukunya Pretext for Mass Murder, John Roosa menjelaskan bagaimana tuduhan ini dijadikan alasan oleh militer untuk melancarkan aksi brutal yang akhirnya menghancurkan PKI. Tuduhan terhadap PKI tidak pernah benar-benar terbukti, namun itu sudah cukup untuk memulai pembersihan besar-besaran.
Amerika Serikat, yang sangat mendukung kampanye anti-komunis, memberikan bantuan diam-diam kepada militer Indonesia. Vincent Bevins mencatat bahwa CIA bahkan memberikan daftar anggota dan simpatisan PKI kepada militer untuk ditangkap dan dibunuh. Dalam beberapa bulan, ratusan ribu hingga jutaan orang yang dianggap terkait dengan PKI dieksekusi tanpa proses pengadilan yang jelas. Ini menjadi salah satu pembantaian politik paling berdarah dalam sejarah modern Indonesia.
BACA JUGA:Hidup Makmur di 5 Negara dengan Gaji Tinggi di Dunia
BACA JUGA:Tips Komunikasi yang Harus Dibangun Oleh Para Pejuang LDR
Uni Soviet, yang sebelumnya memberikan dukungan ideologis dan material kepada PKI, tak bisa berbuat banyak ketika peristiwa ini terjadi. Indonesia, yang saat itu seolah menjadi ajang perang proksi antara dua kekuatan besar dunia, akhirnya jatuh ke dalam pengaruh Amerika Serikat setelah kudeta yang gagal ini. Bagi PKI, mereka bukan hanya kalah secara politik, tetapi juga menjadi korban dari permainan geopolitik yang tak bisa mereka kendalikan.
John Roosa menjelaskan bahwa kekejaman ini tidak hanya sekadar upaya untuk menghancurkan komunisme, tetapi juga cara bagi militer Indonesia untuk mengukuhkan kekuasaan. Setelah peristiwa G30S, Soeharto muncul sebagai pemenang, menggantikan Sukarno yang kehilangan kendali. Dengan dukungan Barat, terutama Amerika, Soeharto memulai era baru di Indonesia, yang dikenal sebagai Orde Baru, dan menandai berakhirnya PKI sebagai kekuatan politik.
Sukarno, yang selama bertahun-tahun mencoba menyeimbangkan antara Blok Barat dan Timur, akhirnya terjepit di antara kedua kekuatan besar itu. Vincent Bevins mencatat bahwa Sukarno, meski pernah menjadi tokoh yang dihormati di kancah internasional, tidak mampu bertahan dari tekanan politik yang terus menghimpitnya. Ia pun menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto, mengakhiri karier politiknya dengan penuh ironi.
Bagi banyak orang Indonesia, peristiwa ini menyisakan luka yang mendalam. Ribuan keluarga kehilangan orang yang mereka cintai tanpa alasan yang jelas, dan stigma terhadap komunisme tetap melekat hingga hari ini. Seperti yang dijelaskan oleh Bevins dalam The Jakarta Method, model pembantaian yang terjadi di Indonesia bahkan menginspirasi operasi serupa di negara-negara lain, menunjukkan betapa dalam pengaruh Perang Dingin terhadap kehidupan jutaan orang di seluruh dunia.
BACA JUGA:Basah Setiap Hari, Inilah Daerah yang Paling Sering Hujan di Dunia
BACA JUGA:Rekomendasi Parfum AFNAN Terbaik untuk Wanita, Wangi Elegan dan Tahan Lama
PKI, yang awalnya bertujuan untuk memperjuangkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia, justru terjebak dalam pertarungan global yang tidak mereka kehendaki. Pada akhirnya, mereka menjadi korban dari benturan dua kekuatan dunia, tanpa mampu melawan. Kisah PKI ini bukan hanya cerita tentang kekalahan politik, tetapi juga tentang bagaimana sebuah bangsa kecil bisa terseret dalam pusaran konflik global yang tak terhindarkan.
Kesimpulannya, seperti yang dijelaskan oleh Vincent Bevins dan John Roosa, PKI bukan hanya korban dari konflik internal Indonesia, tetapi juga korban dari Perang Dingin yang melibatkan Amerika Serikat dan Uni Soviet. Pembantaian massal yang menimpa anggota dan simpatisan PKI adalah cermin betapa kejamnya persaingan kekuatan global, dan bagaimana manusia biasa sering menjadi korban dari permainan politik yang lebih besar dari mereka sendiri.