INFORADAR.ID - Sikap toleransi sangat penting ditanamkan dalam diri sendiri, setiap manusia itu berbeda-beda baik itu dari sisi suku, budaya, agama, warna kulit, adat-istiadat, bahasa maupun pendapat dan kita harus mau terbuka, menghargai dan menerima perbedaan tersebut karena sebenarnya dalam Islam semua manusia itu sama di mata Allah Swt.
Adapun pengertian dari toleransi itu dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata “toleran” (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh) yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada.
Sedangkan menurut istilah (terminologi), toleransi yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya.
Menurut Borba dalam Imam Musbikin, toleransi ialah sikap saling menghargai tanpa membedakan suku, gender, penampilan, budaya, keyakinan, kemampuan, atau orientasi seksual. Orang yang toleran bisa menghargai orang lain meskipun berbeda pandangan dan keyakinan.
Berdasarkan definisi toleransi di atas, dapat disimpulkan bahwa toleransi adalah sikap menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan yang ada serta tidak melakukan diskriminasi terhadap kaum minoritas.
Islam juga mengajarkan untuk saling menghargai dan menghormati dalam beragama. Sebagaimana Firman Allah Swt. dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 8
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
Artinya: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Dari ayat di atas menjelaskan bahwa berbuat baik dan bersikap toleran, serta menjalin pergaulan dengan pemeluk agama lain, merupakan ajaran Islam yang sesungguhnya. Membangun kerukunan dengan pemeluk agama lain dengan cara memperlakukan mereka dengan baik, sopan, adil, dan bijaksana termasuk wujud pengamalan pesan Al-Qur’an.
Pada ayat selanjutnya, Allah melarang umat Islam untuk berteman dan bergaul dengan pemeluk agama lain, apabila mereka memerangi umat Islam, atau membantu kelompok-kelompok yang menyerang Islam. Sebagaimana ditegaskan,
اِنَّمَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَاَخْرَجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوْا عَلٰٓى اِخْرَاجِكُمْ اَنْ تَوَلَّوْهُمْۚ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS Al-Mumtahanah: 9).
Secara tegas, Allah swt melarang umat Islam untuk berkawan dan menjalin hubungan dengan pemeluk agama lain pada ayat di atas, hanya saja poin penting yang perlu dipahami adalah kaidah-kaidah dalam penafsiran Al-Qur’an, bahwa setiap ayat harus diletakkan dalam proporsi dan sesuai dengan konteksnya masing-masing, karena sejatinya ayat Al-Qur’an tidak turun dalam ruang hampa yang dengan sewenang-wenang bisa diterapkan di mana-mana. Maka, tidak boleh memaksakan ayat yang diturunkan dalam posisi perang, misalnya, untuk diterapkan dalam keadaan damai.
Begitu juga dengan Indonesia, negara aman nan majemuk dalam banyak hal, termasuk agama. Ayat di atas tidak bisa diterapkan di Indonesia sebab konteks perang atau penyerangan terhadap umat Islam tidak ada, dan semua pemeluk agama mempunyai ikatan perjanjian untuk hidup bersama dengan damai dalam naungan konstitusi.
Jika pemeluk agama lain tidak berbuat yang membuat kita celaka, maka tidak apa-apa jika ingin berteman dan sangat dianjurkan untuk bersikap baik, adil, menghargai, dan menghormati. ( Hani Nabilah, Mahasiswi UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten)