Rebo Wekasan 2025 Jatuh pada 20 Agustus, Inilah Makna dan Tradisi yang Masih Dilestarikan
Ilustrasi kalender-Pinterest/creative market-
INFORADAR.ID - Rebo Wekasan merupakan tradisi bernuansa Jawa-Islam yang tetap dilestarikan sampai saat ini.
Hari ini dipercaya sebagai Rabu terakhir di bulan Safar pada kalender Hijriah, yang dianggap sebagian umat Islam sebagai waktu untuk berdoa agar terhindar dari bala dan marabahaya.
Pada tahun 2025, Rebo Wekasan diperingati pada 20 Agustus 2025, bertepatan dengan 26 Safar 1447 H berdasarkan kalender resmi Kementerian Agama.
Seiring perkembangannya, tradisi ini tidak hanya dimaknai sebagai amalan religius, tetapi juga sebagai sarana mempererat persaudaraan serta menjaga harmoni sosial.
Tanggal Rebo Wekasan dipandang istimewa karena diyakini menjadi saat yang tepat untuk memperbanyak doa, membaca surat Yasin, melaksanakan shalat sunnah, hingga bersedekah bersama.
BACA JUGA:Kades di Lebak Punya Mobil Mewah Tapi Jalan Desa Rusak Parah: Bupati Lebak Turun Tangan
Makna Rebo Wekasan
Secara bahasa, “Rebo” berarti Rabu dan “wekasan” berarti akhir. Dengan demikian, Rebo Wekasan merujuk pada Rabu terakhir bulan Safar.
Dalam keyakinan sebagian masyarakat, hari ini diyakini sebagai momen turunnya bala.
Oleh sebab itu, umat Islam di berbagai daerah menjalankan amalan khusus sebagai bentuk ikhtiar untuk memohon perlindungan kepada Allah SWT.
Budayawan sekaligus akademisi Universitas Sebelas Maret, Tundjung Wahadi Sutirto, menjelaskan bahwa tradisi ini telah mengakar sejak berabad-abad lalu, khususnya di Jawa, Madura, hingga sebagian wilayah Sumatra.
Keyakinan mengenai Rebo Wekasan juga dijelaskan dalam kitab klasik Kanzun Najah wa-Surur fi Fadhail al-Azminah wa-Shuhur karya Abdul Hamid Quds, yang menyebutkan bahwa pada hari tersebut Allah menurunkan ratusan ribu bala ke bumi.
Tradisi yang Hidup di Masyarakat
Ritual Rebo Wekasan dilaksanakan dengan cara yang berbeda-beda di tiap daerah.
Ada masyarakat yang menunaikan shalat sunnah empat rakaat dengan bacaan khusus, sementara di tempat lain ada tradisi Air Salamun, yakni air yang telah didoakan dan kemudian dibagikan kepada warga.
Tak jarang pula masyarakat mengadakan doa bersama, membaca surat Yasin, serta mengakhiri rangkaian kegiatan dengan sedekah.
Salah satu contohnya terlihat di Desa Panyuran, Tuban, Jawa Timur, di mana masyarakat berkumpul di masjid untuk melaksanakan doa bersama, membaca surat Yasin, dan menutup rangkaian kegiatan dengan saling berbagi sedekah.
Bagi mereka, Rebo Wekasan bukan hanya ritual keagamaan, melainkan juga kesempatan untuk mempererat silaturahmi dan kebersamaan.
BACA JUGA:ShopeeVIP, Cara Cerdas Belanja Online Lebih Untung
BACA JUGA:Alasan BYD Laris di Indonesia, Harga Terjangkau hingga Teknologi Baterai Tangguh
Pandangan Pro dan Kontra
Seperti banyak tradisi keagamaan lainnya, Rebo Wekasan juga menimbulkan perbedaan pandangan di masyarakat. Sebagian menganggapnya sebagai bagian dari kearifan budaya yang sejalan dengan nilai spiritual, sehingga layak dilestarikan.
Tradisi ini dipandang sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT sekaligus menjaga hubungan sosial antarwarga.
Namun, sebagian orang berpendapat bahwa tradisi Rebo Wekasan termasuk bid’ah atau bentuk takhayul lantaran dianggap tidak memiliki landasan yang jelas dalam ajaran syariat.
Meski begitu, tradisi ini tetap bertahan hingga kini dan menjadi bagian dari identitas budaya sekaligus bentuk doa bersama demi keselamatan dan ketenteraman hidup.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
